Apa kata dunia, jika sepakbola Indonesia mengalami masa-masa suram seperti sekarang ini?
Namun, apa yang terjadi sesudah itu? Indonesia hanya sekali menembus babak akhir Olimpiade. Di Melbourne 1956, mereka sempat menahan imbang Uni Soviet tanpa gol, sebelum kalah 4-0 pada pertandingan ulang. Merah-Putih lolos ke empat edisi terakhir Piala Asia, tapi tak pernah beranjak dari babak grup. Di tingkat Asia Tenggara, timnas belum pernah mencicipi gelar juara dalam tujuh kali Piala AFF. Sedangkan di ASEAN Games, Indonesia pernah meraih medali emas dua kali, pada 1987 dan 1991.
Artinya, timnas paceklik gelar selama 18 tahun terakhir - sebuah catatan yang sangat mengkhawatirkan dan mengecewakan.
Korupsi di dalam tubuh organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), ditambah lagi kompetisi Superliga Indonesia yang terbentur kendala jadwal yang sulit ditepati, kerusuhan penonton, dan masalah lainnya menjadi sorotan dunia.
Apa yang perlu dilakukan, agar sepakbola kita segera dibenahi dan diselamatkan dari keterpurukan? GOAL.com Indonesia berbicara dengan anggota redaksi dari edisi lainnya di laman ini.
Jika kumpulan redaksi dari sebuah media sepakbola global menyoroti masalah yang dihadapi Indonesia, tentunya mereka dapat menyumbangkan pikirannya, sekaligus menyampaikan kritik yang membangun.
Editor GOAL.com edisi Inggris Ewan MacDonald mengaku tertarik dengan masalah-masalah yang dialami sepakbola Tanah Air. Ia pernah membaca tentang kasus presiden PSSI Nurdin Halid yang dijebloskan ke penjara, tapi kemudian menolak mundur. Menurut Ewan, revolusi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi permasalahan Indonesia.
"Sebuah revolusi adalah yang paling ideal, tapi masalahnya di sini adalah FIFA tak akan membiarkan intervensi politik di dalam struktur sepakbola, dan revolusi tentunya harus dilakukan melalui dukungan publik. Jadi ini semua situasi yang berbahaya," ujar Ewan.
"FIFA sendiri mempunyai masalah korupsi, jadi akan sulit untuk melihat mereka mengatasi Indonesia secara benar, sementara di rumahnya sendiri mereka kacau!" tambahnya.
Ewan melanjutkan, masalah kompetisi lokal harus segera dibenahi, dan tim yang berlaga di Superliga harus bermain di kandangnya sendiri.
"Kunci lainnya terdapat pada kompetisi junior. Saya merasa, infrastruktur dalam hal lapangan dan kepelatihan adalah awal yang bagus. Dalam hal Superliga, upaya keras harus dilakukan agar stadion-stadion lebih aman, dan tim yang ingin memainkan laga kandangnya harus bermain ke stadion terdekat. Dan semua ini membutuhkan dana besar."
Direktur Situs GOAL.com Italia Sergio Stanco mengakui, di negaranya memang jarang memperhatikan perkembangan sepakbola di Asia maupun Amerika Utara. Bahkan menurutnya, hanya sedikit fanatik yang menyaksikan sepakbola Amerika Latin. Para tifosi Italia tentunya lebih sering mengikuti Serie A dan Liga Champions. Tapi begitu mendengar masalah yang melanda Indonesia, Sergio ikut prihatin.
"Memang, masalah yang dihadapi Indonesia tidak mudah. Kami sendiri punya masalah skandal [Calciopoli] beberapa tahun lalu tapi tak banyak perubahan keorganisasian pada asosiasi sepakbola kami," tutur Sergio melalui e-mail kepada GOAL.com Indonesia.
"Semua petinggi mempertahankan posisinya. Bahkan masih ada orang-orang yang sama selama 30 tahun terakhir dalam jabatan inti sepakbola Italia yang terlibat skandal-skandal.
"Cara-cara terbaik adalah membuka kemungkinan untuk membangun organisasi baru yang sungguh-sungguh, tapi hal itu saya akui tidak akan mudah.
"Semangat Indonesia harus dimulai dari fans, dan bukan dari organisasi. Membangun stadion yang nyaman dan memberikan kesempatan buat suporter 'bernafas' sepakbola. Itulah cara terbaik. Kami mempunyai masalah yang sama di Italia," tandas Sergio.
Lanjutan:
LIPUTAN KHUSUS - Sepakbola Indonesia Di Mata Dunia (II): Keprihatinan Cina, Jepang, Korsel Terhadap Saudaranya