Apa kata dunia, jika sepakbola Indonesia mengalami masa-masa suram seperti sekarang ini? Tulisan ini merupakan lanjutan dari Liputan Khusus - Sepakbola Indonesia Di Mata Dunia (I): Italia & Inggris Mendukung Revolusi Di Dalam Tubuh Organisasi PSSI
Cina, Jepang dan Korea Selatan, sebagai tiga kekuatan raksasa di Asia, tentunya mengikuti terus perkembangan saudara lainnya di benua ini.
Pemimpin Redaksi GOAL.com Cina Dapeng Liang mengenang sejarah pertemuan negaranya melawan Indonesia.
"Menurut saya, kami memainkan pertandingan yang mengesankan melawan Indonesia pada 13 Mei 2001 pada prakualifikasi Piala Dunia 2002. Di kandang kami di Kunming, Indonesia unggul terlebih dulu di babak pertama, melalui tendangan jarak jauh [oleh Kurniawan Dwi Yulianto di menit ke-39, tapi selanjutnya timnas kalah 5-1]," tutur Liang melalui e-mail kepada pimpinan redaksi GOAL.com Indonesia.
"Dan dalam sejarahnya, kami tahu Cina dikalahkan Indonesia di prakualifikasi Piala Dunia 1958. Di putaran pertama pada 1957, tiga pertandingan melawan Indonesia berakhir dengan skor 2-0 untuk kemenangan Indonesia di Jakarta, kemudian kami membalas di kandang kami dengan keunggulan 4-3, tapi terakhir kami ditahan imbang tanpa gol. Itu pengalaman pertama tim nasional Cina mengikuti prakualifikasi Piala Dunia. Saya tahu itu merupakan periode emas buat sepakbola Indonesia," lanjutnya.
Liang menyayangkan, penampilan timnas justru menurun sejak Piala Asia 2007, dan Indonesia harus banyak belajar dari negara lainnya.
"Saya harus mengakui, tim Anda bermain baik sekali di Piala Asia 2007, tapi fisik Indonesia masing kurang, meskipun skill individual dan determinasi sudah kuat, khususnya di kandang sendiri.
"Saya dengar, tim Portugal, Belanda, Italia dan Inggris sangat popular di Indonesia. Itu bagus, karena tim sekelas Portugal, Meksiko dan Jepang adalah tempat pembelajaran yang bagus."
Liang pun mendukung revolusi di dalam PSSI, dan kompetisi di level junior harus segera dibenahi.
"Masalah yang dihadapi oleh negara Anda sangat mirip dengan Cina - banyak sekali masalah di liga, pengaturan skor pertandingan, dan buruknya perkembangan pesepakbola remaja.
"Revolusi di dalam asosiasi sepakbola sangat diperlukan. Semuanya kacau. Tapi sepakbola juga menyangkut para pemain, dan presiden PSSI harus mempunyai rencana yang matang dalam memajukan sepakbola Anda, seperti yang dilakukan Saburo Kawabuchi di Jepang. Kami di Cina mencari orang seperti dia. Selanjutnya, jalankan rencana itu.
"Sistem pembinaan sepakbola di tingkat junior juga sangat penting. Pada 2009, Cina memiliki rencana besar untuk memajukan sepakbola remaja. Tim kami saat ini paling buruk dari yang sebelumnya, tapi kami melihat masa depan cerah dalam lima atau sepuluh tahun ke depan. Kami ingin mengajak lebih banyak lagi putra-putri kami untuk bermain dalam olahraga indah ini. Mudah-mudahan kami mendapatkan tim yang lebih jago di masa mendatang, dan Indonesia juga."
Lalu, bagaimana caranya agar semangat anak-anak Indonesia dapat terwujud dengan semaksimal mungkin di lapangan? Menurut Liang, PSSI harus mampu memaksimalkan proyek Vision Asia yang diselenggarakan FIFA.
"Dari dana proyek itu, PSSI harus menggunakannya untuk membangun lapangan sepakbola dan fasilitas yang memadai di kota-kota besar, khususnya untuk anak-anak remaja, daripada membuat tempat kerjanya lebih nyaman buat sang presiden," tandas Liang.
Pemimpin Redaksi GOAL.com edisi Jepang Yoshikazu Muro memiliki pendapat yang kurang lebih sama dengan Liang.
"Saya tahu, sepakbola Indonesia cukup sukses di era 1960-an dan 70-an, tapi mereka kehilangan performa sejak itu. Kami hanya bisa melihat penampilan Indonesia di Piala Asia. Menurut saya, mereka selalu kalah dalam hal fisik," tuturnya.
Yoshi menambahkan, kesuksesan sepakbola Indonesia dan dukungan PSSI saling terkait, dan tak boleh terlepas.
"Agar liga domestik dan tim nasional sukses, dukungan PSSI selalu penting, dan di saat yang sama, PSSI harus sangat terorganisir," jelas Yoshi. "Jika tidak, semuanya akan hancur mulai dari pondasinya. Jepang bisa sukses selama sepuluh tahun terakhir dan lolos ke Piala Dunia karena pondasi dan ketegasan asosiasi sepakbolanya.
"Saya menyarankan agar Indonesia segera melakukan dua hal: mengaktifkan seorang ketua baru dengan kemampuan memimpin yang kuat, dan mengembangkan sistem kompetisi pemain muda yang tersusun rapi, hingga ke komunitas lokal.
"Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia tapi butuh perjalanan panjang, langkah demi langkah dari satu level ke level berikutnya, karena tak mungkin ada perubahan dramatis dalam sepakbola. Untuk menuju ke arah yang lebih baik, pondasi liga domestik harus diperkuat dengan sistem yang lebih matang dan terorganisir - itu sangat penting demi terwujudnya prestasi yang membanggakan buat Indonesia."
Terakhir, Pemimpin Redaksi Korea Cheol-gyu Lee mengatakan, mentalitas Indonesia sudah membaik pada Piala Asia 2007 lalu, tapi fisiknya masih perlu diperbaiki.
"Jika para pemain bisa meningkatkan fisiknya, mereka akan tambah bagus. Adanya Akademi Sepakbola Real Madrid [di Bali] serta Sekolah Sepakbola Arsenal [di Jakarta] dapat berdampak positif buat masa depan, tapi butuh waktu," tegasnya.
Cheol-gyu memberi contoh, Korea Selatan bisa sukses karena administrasi asosiasi sepakbolanya yang bersih.
"Saya pikir Korea bisa sukses karena kebijaksanaan yang konsisten, ditambah marketing yang hasilnya bagus. Investasi ditujukan untuk membangun sistem pembinaan pemain remaja.
"Jika Indonesia ingin hasil yang baik, PSSI harus memperbaiki infrastruktur yang telah eksis, seperti stadion dan sistem sepakbolanya."
Cheol-gyu menambahkan, patriotisme harus ditanamkan dalam PSSI dan pemain-pemain timnas. Dan menurutnya, PSSI harus memaksimalkan dana dari sponsor untuk melatih pemain-pemain muda.
"Di Korea, kami memanfaatkan patriotisme itu supaya rakyat tertarik dengan sepakbola. Jadi begitu melawan Jepang, kami semangat.
"Dengan hasil lolos ke enam Piala Dunia terakhir, asosiasi sepakbola kami meraih banyak dukungan dari sponsor. Pada 1996, Nike memberikan asosiasi sepakbola Korea dana 1,5 milyar won per tahun [sekitar Rp12,4 milyar]. Jumlah itu meningkat menjadi 6,2 milyar won ditambah 4 milyar untuk kostum pemain tahun ini. Anggaran ini kemudian digunakan untuk melatih pemain-pemain ke luar negeri. Booming yang terjadi pasca Piala Dunia 2002 membuat pemerintah lokal memperkuat infrastruktur sepakbola termasuk stadion.
"Selain itu, Korea membuat banyak turnamen di tingkat remaja, dari segala umur. Futsal pun diperkenalkan, dan pelatih dikirim ke luar negeri untuk belajar. Pendidikan dan lisensi wasit juga ditingkatkan."
Nantikan lanjutannya...
No comments:
Post a Comment