KONDISI PSMS musim ini memang sungguh memprihatinkan. Hingga saatnya harus melakoni laga away perdana wilayah I yang berlangsung di Rengat, tim Ayam Kinantan belum punya kostum. Ironis bukan!
Urusan perlengkapan tim, sebenarnya sudah dilimpahkan kepada Specs produsen perlengkapan olahraga tanah air yang bertindak sebagai sponsor. Sayangnya, Specs tidak sepenuhnya memberikan perlengkapan dengan gratis karena PSMS hanya berlaga di Divisi Utama.
Specs hanya menggratiskan beberapa item, kecuali kostum tim dan segala tetek bengeknya seperti sepatu. Walhasil, hingga Minggu (22/11) saat skuad tiba di Rengat, kostum yang akan dipakai berlaga tidak dibawa serta. Wujud kostum itu pun belum ada yang tahu.
Namun hal ini coba ditangani oleh manajemen. Minggu malam, Benny Tomasoa berencana terbang ke Jakarta untuk menjemput kostum tersebut. “Kostum menyusul. Sebelum bertanding, kostum sudah datang. Itu dapat dipastikan,” kata Benny.
Terlepas dari masalah itu, yang lebih parah adalah timpangnya kondisi tim. Di Rengat, PSMS akan berjibaku tanpa dukungan duo legiun asingnya, Nyeck Nyobe dan Osas Saha.
Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) keduanya belum sehingga tidak bisa diturunkan. “Dengan pemain yang apa adanya lah kita berlaga. Mencuri satu poin dari dua partai away melawan Rengat dan Tembilahan merupakan target yang cukup realistis,” kata Suimin.
Kumpulan Berita Tentang PSMS Medan Teruskan Perjuangan MU PSMS Medan "Koe" Dukung Terus PSMS Medan ....
Monday, November 23, 2009
Belajarlah Menyulap Sengsara Menjadi Nikmat
Berkaca dari Fanatisme Timnas 1951 dan Gemilangnya Era Perserikatan (1)
Yang saya tangkap, PSMS musim ini benar-benar jatuh miskin. Musim lalu, ketika Ayam Kinantan ‘dipelihara’ Sihar Sitorus, uang tampaknya
bukan masalah
Saat itu dana benar-benar berlimpah, walau prestasi tidak begitu berkilau. Sedangkan musim ini, PSMS hampir saja main tanpa kostum dan sepatu karena uang untuk melengkapi kebutuhan tim tak mencukupi.
Tak bisa dipungkiri, perjalanan PSMS menatap Divisi Utama kali ini penuh dengan halang rintang. Apalagi masalah yang begitu membelenggu, kalau tidak soal pendanaan. Ya, diharamkannya APBD untuk sebuah klub kiranya cukup untuk menghentikan denyut nadi perjuangan, walau tak sampai mati total.
Berkaca dari mengerikannya kondisi PSMS ini, saya teringat masa-masa di mana Timnas Merah Putih melewati lawatannya ke negeri tetangga Singapura, pada tahun 1951 silam.
Saat itu, kondisi Timnas Merah Putih bahkan lebih parah dari kondisi yang dialami PSMS saat ini. Tentu saja, karena memang zamannya beda.
Tapi setidaknya, kita tidak bisa begitu saja melupakan sejarah. Ingat kata Bung Karno-Pemimpin Revolusioner bangsa ini : Jangan sesekali melupakan sejarah (Jas Merah)!.
Kata-kata ini yang selalu diucapkan beliau untuk memotivasi para pemuda saat itu. Tak terkecuali berlaku juga bagi skuad Merah Putih kala itu. Ya, harapannya, skuad PSMS saat ini mampu berjuang dengan darah dan airmatanya untuk satu tujuan, kembali ke ISL.
Kisah perjalanan keluar negeri kedua Timnas Indonesia tahun 1951 itu, terekam dengan baik di memoar yang dituliskan Kosasih ‘Mang Koes’ Purwanegara, SH (Mantan Menteri Sosial Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949-50 dan mantan Ketua PSSI 1968-74), sebagai kenangan 80 Tahun Bapak yang Berisi Sepak terjangnya di kancah sepak bola nasional itu yang kebetulan pernah saya baca dalam buku berjudul Drama itu Bernama Sepak Bola, karangan seorang wartawan olahraga senior Arief Natakusumah. Begini kisahnya : Tahun 1951, Tim Merah Putih yang dimanajeri langsung oleh Mang Koes melakoni tur ke Singapura. Karena sifatnya tur, tak ada anggaran dari negara. Semua pembiayaan ditanggung PSSI. Begitupun, seluruh anggota rombongan merasa bangga setengah mati.
Saat itu, negeri ini baru seumur jagung dari kemerdekaanya. Materil pemain pun apa adanya. Tapi jangan tanya semangatnya! Inilah modal sesungguhnya yang ternyata mampu bikin bangga. Offisial resmi pada rombongan itu hanya berjumlah 16 orang. Tim membawa dua stel seragam, kaos merah-putih dengan logo garuda di dada lengkap dengan celana dan kaos kaki. Beberapa baju resmi juga dibawa serta untuk jaga-jaga kalau ada acara kenegaraan.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesuai kebutuhan. Kostum tidak ada masalah, bahkan desainnya saat itu mirip dengan kostum Arsenal musim ini. Cantiklah. Yang masalah adalah sepatunya.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesua
Ya, di zaman itu, sepatu bola terkenal adalah buatan toko sepatu Tjan Fung di daerah Senen Jakarta. Memang sepatu buatan toko itu kuat, tapi berat dan keras!
Uang saku pemain diberikan juga. Tapi jumlahnya hanya 2 dolar perhari perorang, sedangkan offisial 3 dolar perorang. Kurs saat itu tentu saja tidak setinggi sekarang. Namun dengan segala kekurangan itu, seluruh pemain dan offisial senang luar biasa karena berangkatnya naik kapal terbang
Yang saya tangkap, PSMS musim ini benar-benar jatuh miskin. Musim lalu, ketika Ayam Kinantan ‘dipelihara’ Sihar Sitorus, uang tampaknya
bukan masalah
Saat itu dana benar-benar berlimpah, walau prestasi tidak begitu berkilau. Sedangkan musim ini, PSMS hampir saja main tanpa kostum dan sepatu karena uang untuk melengkapi kebutuhan tim tak mencukupi.
Tak bisa dipungkiri, perjalanan PSMS menatap Divisi Utama kali ini penuh dengan halang rintang. Apalagi masalah yang begitu membelenggu, kalau tidak soal pendanaan. Ya, diharamkannya APBD untuk sebuah klub kiranya cukup untuk menghentikan denyut nadi perjuangan, walau tak sampai mati total.
Berkaca dari mengerikannya kondisi PSMS ini, saya teringat masa-masa di mana Timnas Merah Putih melewati lawatannya ke negeri tetangga Singapura, pada tahun 1951 silam.
Saat itu, kondisi Timnas Merah Putih bahkan lebih parah dari kondisi yang dialami PSMS saat ini. Tentu saja, karena memang zamannya beda.
Tapi setidaknya, kita tidak bisa begitu saja melupakan sejarah. Ingat kata Bung Karno-Pemimpin Revolusioner bangsa ini : Jangan sesekali melupakan sejarah (Jas Merah)!.
Kata-kata ini yang selalu diucapkan beliau untuk memotivasi para pemuda saat itu. Tak terkecuali berlaku juga bagi skuad Merah Putih kala itu. Ya, harapannya, skuad PSMS saat ini mampu berjuang dengan darah dan airmatanya untuk satu tujuan, kembali ke ISL.
Kisah perjalanan keluar negeri kedua Timnas Indonesia tahun 1951 itu, terekam dengan baik di memoar yang dituliskan Kosasih ‘Mang Koes’ Purwanegara, SH (Mantan Menteri Sosial Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949-50 dan mantan Ketua PSSI 1968-74), sebagai kenangan 80 Tahun Bapak yang Berisi Sepak terjangnya di kancah sepak bola nasional itu yang kebetulan pernah saya baca dalam buku berjudul Drama itu Bernama Sepak Bola, karangan seorang wartawan olahraga senior Arief Natakusumah. Begini kisahnya : Tahun 1951, Tim Merah Putih yang dimanajeri langsung oleh Mang Koes melakoni tur ke Singapura. Karena sifatnya tur, tak ada anggaran dari negara. Semua pembiayaan ditanggung PSSI. Begitupun, seluruh anggota rombongan merasa bangga setengah mati.
Saat itu, negeri ini baru seumur jagung dari kemerdekaanya. Materil pemain pun apa adanya. Tapi jangan tanya semangatnya! Inilah modal sesungguhnya yang ternyata mampu bikin bangga. Offisial resmi pada rombongan itu hanya berjumlah 16 orang. Tim membawa dua stel seragam, kaos merah-putih dengan logo garuda di dada lengkap dengan celana dan kaos kaki. Beberapa baju resmi juga dibawa serta untuk jaga-jaga kalau ada acara kenegaraan.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesuai kebutuhan. Kostum tidak ada masalah, bahkan desainnya saat itu mirip dengan kostum Arsenal musim ini. Cantiklah. Yang masalah adalah sepatunya.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesua
Ya, di zaman itu, sepatu bola terkenal adalah buatan toko sepatu Tjan Fung di daerah Senen Jakarta. Memang sepatu buatan toko itu kuat, tapi berat dan keras!
Uang saku pemain diberikan juga. Tapi jumlahnya hanya 2 dolar perhari perorang, sedangkan offisial 3 dolar perorang. Kurs saat itu tentu saja tidak setinggi sekarang. Namun dengan segala kekurangan itu, seluruh pemain dan offisial senang luar biasa karena berangkatnya naik kapal terbang
Belajarlah Menyulap Sengsara Menjadi Nikmat
Berkaca dari Fanatisme Timnas 1951 dan Gemilangnya Era Perserikatan (1)
Yang saya tangkap, PSMS musim ini benar-benar jatuh miskin. Musim lalu, ketika Ayam Kinantan ‘dipelihara’ Sihar Sitorus, uang tampaknya
bukan masalah
Saat itu dana benar-benar berlimpah, walau prestasi tidak begitu berkilau. Sedangkan musim ini, PSMS hampir saja main tanpa kostum dan sepatu karena uang untuk melengkapi kebutuhan tim tak mencukupi.
Tak bisa dipungkiri, perjalanan PSMS menatap Divisi Utama kali ini penuh dengan halang rintang. Apalagi masalah yang begitu membelenggu, kalau tidak soal pendanaan. Ya, diharamkannya APBD untuk sebuah klub kiranya cukup untuk menghentikan denyut nadi perjuangan, walau tak sampai mati total.
Berkaca dari mengerikannya kondisi PSMS ini, saya teringat masa-masa di mana Timnas Merah Putih melewati lawatannya ke negeri tetangga Singapura, pada tahun 1951 silam.
Saat itu, kondisi Timnas Merah Putih bahkan lebih parah dari kondisi yang dialami PSMS saat ini. Tentu saja, karena memang zamannya beda.
Tapi setidaknya, kita tidak bisa begitu saja melupakan sejarah. Ingat kata Bung Karno-Pemimpin Revolusioner bangsa ini : Jangan sesekali melupakan sejarah (Jas Merah)!.
Kata-kata ini yang selalu diucapkan beliau untuk memotivasi para pemuda saat itu. Tak terkecuali berlaku juga bagi skuad Merah Putih kala itu. Ya, harapannya, skuad PSMS saat ini mampu berjuang dengan darah dan airmatanya untuk satu tujuan, kembali ke ISL.
Kisah perjalanan keluar negeri kedua Timnas Indonesia tahun 1951 itu, terekam dengan baik di memoar yang dituliskan Kosasih ‘Mang Koes’ Purwanegara, SH (Mantan Menteri Sosial Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949-50 dan mantan Ketua PSSI 1968-74), sebagai kenangan 80 Tahun Bapak yang Berisi Sepak terjangnya di kancah sepak bola nasional itu yang kebetulan pernah saya baca dalam buku berjudul Drama itu Bernama Sepak Bola, karangan seorang wartawan olahraga senior Arief Natakusumah. Begini kisahnya : Tahun 1951, Tim Merah Putih yang dimanajeri langsung oleh Mang Koes melakoni tur ke Singapura. Karena sifatnya tur, tak ada anggaran dari negara. Semua pembiayaan ditanggung PSSI. Begitupun, seluruh anggota rombongan merasa bangga setengah mati.
Saat itu, negeri ini baru seumur jagung dari kemerdekaanya. Materil pemain pun apa adanya. Tapi jangan tanya semangatnya! Inilah modal sesungguhnya yang ternyata mampu bikin bangga. Offisial resmi pada rombongan itu hanya berjumlah 16 orang. Tim membawa dua stel seragam, kaos merah-putih dengan logo garuda di dada lengkap dengan celana dan kaos kaki. Beberapa baju resmi juga dibawa serta untuk jaga-jaga kalau ada acara kenegaraan.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesuai kebutuhan. Kostum tidak ada masalah, bahkan desainnya saat itu mirip dengan kostum Arsenal musim ini. Cantiklah. Yang masalah adalah sepatunya.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesua
Ya, di zaman itu, sepatu bola terkenal adalah buatan toko sepatu Tjan Fung di daerah Senen Jakarta. Memang sepatu buatan toko itu kuat, tapi berat dan keras!
Uang saku pemain diberikan juga. Tapi jumlahnya hanya 2 dolar perhari perorang, sedangkan offisial 3 dolar perorang. Kurs saat itu tentu saja tidak setinggi sekarang. Namun dengan segala kekurangan itu, seluruh pemain dan offisial senang luar biasa karena berangkatnya naik kapal terbang
Yang saya tangkap, PSMS musim ini benar-benar jatuh miskin. Musim lalu, ketika Ayam Kinantan ‘dipelihara’ Sihar Sitorus, uang tampaknya
bukan masalah
Saat itu dana benar-benar berlimpah, walau prestasi tidak begitu berkilau. Sedangkan musim ini, PSMS hampir saja main tanpa kostum dan sepatu karena uang untuk melengkapi kebutuhan tim tak mencukupi.
Tak bisa dipungkiri, perjalanan PSMS menatap Divisi Utama kali ini penuh dengan halang rintang. Apalagi masalah yang begitu membelenggu, kalau tidak soal pendanaan. Ya, diharamkannya APBD untuk sebuah klub kiranya cukup untuk menghentikan denyut nadi perjuangan, walau tak sampai mati total.
Berkaca dari mengerikannya kondisi PSMS ini, saya teringat masa-masa di mana Timnas Merah Putih melewati lawatannya ke negeri tetangga Singapura, pada tahun 1951 silam.
Saat itu, kondisi Timnas Merah Putih bahkan lebih parah dari kondisi yang dialami PSMS saat ini. Tentu saja, karena memang zamannya beda.
Tapi setidaknya, kita tidak bisa begitu saja melupakan sejarah. Ingat kata Bung Karno-Pemimpin Revolusioner bangsa ini : Jangan sesekali melupakan sejarah (Jas Merah)!.
Kata-kata ini yang selalu diucapkan beliau untuk memotivasi para pemuda saat itu. Tak terkecuali berlaku juga bagi skuad Merah Putih kala itu. Ya, harapannya, skuad PSMS saat ini mampu berjuang dengan darah dan airmatanya untuk satu tujuan, kembali ke ISL.
Kisah perjalanan keluar negeri kedua Timnas Indonesia tahun 1951 itu, terekam dengan baik di memoar yang dituliskan Kosasih ‘Mang Koes’ Purwanegara, SH (Mantan Menteri Sosial Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949-50 dan mantan Ketua PSSI 1968-74), sebagai kenangan 80 Tahun Bapak yang Berisi Sepak terjangnya di kancah sepak bola nasional itu yang kebetulan pernah saya baca dalam buku berjudul Drama itu Bernama Sepak Bola, karangan seorang wartawan olahraga senior Arief Natakusumah. Begini kisahnya : Tahun 1951, Tim Merah Putih yang dimanajeri langsung oleh Mang Koes melakoni tur ke Singapura. Karena sifatnya tur, tak ada anggaran dari negara. Semua pembiayaan ditanggung PSSI. Begitupun, seluruh anggota rombongan merasa bangga setengah mati.
Saat itu, negeri ini baru seumur jagung dari kemerdekaanya. Materil pemain pun apa adanya. Tapi jangan tanya semangatnya! Inilah modal sesungguhnya yang ternyata mampu bikin bangga. Offisial resmi pada rombongan itu hanya berjumlah 16 orang. Tim membawa dua stel seragam, kaos merah-putih dengan logo garuda di dada lengkap dengan celana dan kaos kaki. Beberapa baju resmi juga dibawa serta untuk jaga-jaga kalau ada acara kenegaraan.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesuai kebutuhan. Kostum tidak ada masalah, bahkan desainnya saat itu mirip dengan kostum Arsenal musim ini. Cantiklah. Yang masalah adalah sepatunya.
Unik, lambang PSSI diberi peniti untuk bongkar-pasang sesua
Ya, di zaman itu, sepatu bola terkenal adalah buatan toko sepatu Tjan Fung di daerah Senen Jakarta. Memang sepatu buatan toko itu kuat, tapi berat dan keras!
Uang saku pemain diberikan juga. Tapi jumlahnya hanya 2 dolar perhari perorang, sedangkan offisial 3 dolar perorang. Kurs saat itu tentu saja tidak setinggi sekarang. Namun dengan segala kekurangan itu, seluruh pemain dan offisial senang luar biasa karena berangkatnya naik kapal terbang
Subscribe to:
Posts (Atom)