Menilai ISL lebih berkualitas dibandingkan dengan LPI memang ada benarnya, tetapi ini perlu kehati-hatian. Sebab, tidak selamanya penilaian tersebut pas diterapkan. Mengingat untuk menerapkan penilaian tersebut haruslah tepat waktunya dan tepat konteksnya.
Mari kita ulas bagaiamana cara menilai ISL dari sudut pandang yang lebih logis dengan menempatkan waktu dan konteksnya secara tepat!
ISL pada Masa Nurdin
Klub-klub yang mengikuti kompetisi pada level tertinggi tergabung dalam kompetisi Indonesian Super League (ISL). Walaupun dibilang kompetisi tertinggi, tapi maaf, kompetisi ini tak bisa dikategorikan sebagai kompetisi profesional. Saya sebut ini kompetisi BANCI. Sebab masih bertumpu pada duit rakyat sebagai ujung tombak perputarannya. Nyaris tak ada klub yang terlepas dari anggaran APBD. Hampir Setiap klub berlomba-lomba menguras keuangan rakyat secara massif. Anehnya, tak ada pertanggungjawaban penggunaannya sama sekali kepada publik.
Dari kondisi tersebut, lalu menjadi sangat aneh jika ada orang yang mengatakan bahwa klub-klub yang kerjanya cuma nguras duit rakyat kok dibilang berjuang sampe berdarah-darah. Yang benar adalah berleha-leha menikmati harta rakyat, ongkang-ongkang menyedot kekayaan negara yang masih sangat kekurangan.
Dengan berlomba-lomba memeras dana gratisan mengandalkan keringat rakyat, memang tak bisa dipungkiri nafas kompetisi terlihat lebih semarak. Penggunaan 5 pemain asing dimaksimalkan klub. Mereka semua jor-joran belanja pemain dengan tarif bahkan lebih mahal dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih kaya seperti Singapura!
Bisa dibilang kualitas kompetisi yang klub-klubnya tak perlu memepertanggungjawabkan dana yang dipakainya itu sedikit lebih baik dari kompetisi sebelum-sebelumnya. Hanya saja output dari hasil kompetisi ini tak pernah bisa membuktikan kepada publik bahwa di arena internasional mereka bisa berbicara lebih baik.
Melihat situasi sepak bola yang semakin boros uang rakyat namun miskin prestasi tersebut, sejumlah tokoh pun berteriak agar komandan PSSI segera mengambil langkah untuk mereformasi diri. Namun sebagaimana kita tahu, Nurdin tak pernah mau melakukan perubahan di PSSI.
Singkat cerita, LPI pun lahir. Namun setelah Nurdin berhasil diganti terlebih setelah keberadaanya sudah diakomodir PSSI, mereka tak melanjutkan putaran kedua karena bersiap untuk main pada satu kompetisi di PSSI.
KOMPETISI DI BAWAH PSSI BARU
Kompetisi baru tentu harus beda dengan kompetisi amatir. Terlebih sudah ada aturan resmi dari Negara bahwa klub profesional tidak boleh lagi menggunakan uang negara(rakyat).
Di bawah Kepengurusan PSSI baru, EXCO tidak serta-merta menempatkan LPI di atas klub ISL. PSSI justru mengakokomdir semua klub ISL masuk di Liga teratas dan tak egois memasukkan semua klub LPI di kompetisi level-1. Namun yang terjadi adalah pemaksimalan isu klub gratisan, klub siluman, pelanggaran statuta dan segala hal yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk menurunkan legitimasi bagi Pengurus PSSI oleh kelompok Pengurus lama.
Untunglah, opini kelompok pengurus lama tak banyak diikuti oleh mayoritas klub. Terbukti, hingga kini tak ada suara untuk menggoyang kepengurusan PSSI baru ini kecuali segelintir orang yang ingin mencari keuntungan pribadi.
SALAH MENILAI
Klaim bahwa kualitas ISL jauh lebih baik ketimbang mutu LPI, secara ilmiah tak dapat dibenarkan. Kalau berdasarkan kesan yang terlihat barangkali memang itulah kesannya. Kesan akan runtuh seketika saat mereka membuktikan secara fisik di lapangan. Lihat saja ketika klub Persija BP tak bisa mengalahkan klub Persitara sedangkan klub Persija LPI mampu menekuk lawan yang sama yang dihadapi oleh Persija ISL! Bukti ini yang bisa dipakai untuk memberi label siap yang lebih berkualitas. Namun itu pun tentu tak bisa langsung dipakai untuk menyimpulkan. Intinya adalah klaim bahwa ISL lebih baik memang tak bisa dibenarkan.
Saat hampir semua klub di ISL tanpa berkeringat mengeruk duit rakyat, maka pantas mereka dapat membeli pemain terbaik, sedangkan LPI yang kehadirannya selain tak memakai duit rakyat mereka pun dibentuk secara singkat dan stok pemain bagus sudah terserap di lapanagan. Ini menjadi sangat wajar bila penampilan ISL relatif lebih baik ketimbang LPI. Tetapi apakah hal itu bisa dijadikan ukuran?
Yang cara pikirnya pendek tentu memandangnya seperti itu. Yang berpikir panjang tentu cara memendangnya pakai logika.
ISL hanya boleh diperbandingkan denga klub sesama pemakai APBD! Klub ISL tentu merajai jika dibandingkan dengan klub-klub di bawahnya karena juga faktor pemakaian uang rakyat yang juga berlipat ganda dibandingkan dengan klub lain! Coba jika duit rakyat gak boleh dipakai buat belanja kebutuhan tim apakah mereka mampu berkiprah(saat itu)?
Mereka kini dipersilakan menjalankan kompetisi secara profesional! Dan, bila mereka sudah mandiri bolehlah nanti mereka berkompetisi secara fair dan silakan dibuktikan apakah mereka layak disebut tim berkualitas.
Memakai ukuran masa lalu sangat tidak pas untuk masa depan.(Cepot)
No comments:
Post a Comment