Wednesday, December 16, 2009

Berdarah Ambon, Cinta Mati kepada PSMS

Benny Tomasoa, Asisten Manajer Tim PSMS

Kerja keras, pengorbanan bahkan isu negatif kerap mengiringi kru yang berada di balik tim PSMS dalam menatap kompetisi musim ini. Terdepak dari kompetisi tertinggi tanah air, merupakan pukulan telak bagi masyarakat Medan utamanya pecinta sepak bola. Kini, PSMS mencoba bangkit. Sayang, berbagai problem masih terus menghantui.

SYAIFULLAH-Medan

Salah satu kru yang membidani terbentuknya tim PSMS musim ini adalah Benny Tomasoa.

“Bento” begitu dia biasa disapa adalah pria berdarah Ambon. Begitupun, Benny yang lahir dan besar di Medan mengaku sangat mencintai PSMS.
Apalagi dia merupakan mantan pemain PSMS di era 80-an. Ya walaupun tidak setenar Ponirin Meka atau Jampi Hutauruk dkk. Mengapa Ponirin Meka atau Jampi Hutauruk? Ya karena ketika masih menjadi pemain, Benny berposisi sebagai penjaga gawang. Sama seperti Ponirin dan Jampi.
Bahkan Benny punya “dendam” kepada Ponirin Meka. Pasalnya, selama Ponirin aktif berada di bawah mistar PSMS, selama itu pula Benny selalu berada di bawah bayang-bayang mantan kiper timnas itu. Namun, dendam itu merupakan dendam yang positif.

“Saat itu saya selalu berada di bawah nama besar Ponirin Meka. Kesempatan saya tampil hanya kalau senior saya itu cedera atau dipanggil Timnas. Tapi saya menikmati saat-saat itu,” kenang Benny kepada Sumut Pos kemarin (14/12).

Bersama PSMS, Benny benar-benar memulai karir dari bawah. Pria kelahiran 6 Oktober 1967 itu memulai masuk skuad PSMS remaja pada tahun 1982. Setahun berikutnya, Benny diberi kesempatan masuk tim junior yang mengkuti Piala Suratin. Hal itu diulangi tahun 1985. Baru pada tahun 1986 Benny berhasil masuk tim senior. Di sinilah Benny merasa jika dirinya harus mencari klub baru agar bisa terbebas dari bayang-bayang Ponirin Meka.

Pada tahun 1987 dia mencoba peruntungan ke Jakarta dengan masuk klub Warna Agung yang berkiprah di kompetisi Galatama. Namun akhirnya dia kembali ke Medan.

“Masa-masa menjadi seorang pesepak bola adalah masa yang indah dan sulit dilupakan. Bahkan akhirnya saya menjadi seperti ini, itu semua tak lepas dari sepak bola,” tambah fans Edwin Van Der Sar dan Jose Maurinho itu.

Ya, selepas dari sepak bola, Benny mencoba mencari sesuatu yang memang tak ada kaitannya sama sekali dari sepak bola.
Beberapa tahun belakangan, Benny berhasil mendirikan satu perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor.
Namun jiwa sepak bolan seolah tak ingin enyah dari ayah dua anak bernama Yosefina dan Grevance Yohanes itu.
Terlebih Benny miris melihat akhirnya PSMS harus terdepak dari ISL.

Besar tekadnya untuk saling bahi-membahu dengan pengurus dan manajemen lainnya untuk kembali memposisikan PSMS kembali duduk di kasta tertinggi sepak bola Indonesia.

“Tidak ada kebanggan terbesar bagi pengurus dan manajemen PSMS saat ini, kecuali berhasil meloloskan tim ini kembali ke ISL. Itulah motivasi besar saya menjadi asisten manajer PSMS. Tidak ada yang lain,,” tambah fans berat Barcelona itu.

Lebih dari itu, motivasi dan niat saja tampaknya sangat tidak cukup untuk mengembalikan PSMS ke ISL.
“Dibutuhkan lebih dari sekadar nama besar untuk mengambalikan kejayaan PSMS. Semua pihak di kepengurusan dan manajemen saat ini harus kompak dan satu visi,” bilangnya.

“Saya rasa dengan kebersamaan dan keyakinan, PSMS bisa meraih hasil sesuai harapan kita semua,” pungkas Benny

No comments: